Sebenarnya, aku ingin memposting ini waktu Hari Rabu, eh, tidak, aku sebenarnya tidak mau mempostingnya. Tapi, mengingat aku hanya bisa lepas dari rasa kesal jika menuliskan semuanya, maka kuputuskan untuk menulis. Berhubung teman sekelasku tidak ada yang tahu Blog-ku ini.
Em... pada postingan sebelumnya, kukatakan bahwa sekarang aku duduk di depan bukan (well, mulai sekarang Kia akan memanggil diri sendiri dengan sebutan 'AKU' kata ganti orang pertama)? Lalu kemudian pindah kebelakang.
Dengan berat hati kukatakan, aku kembali duduk di depan.
Berat hati?
Ya, berat hati.
Sejujurnya, aku benci duduk di depan. Duduk di bangku depan punya banyak kenangan menyedihkan untukku. Kenangan di mana aku jatuh terduduk dengan pusat tulang belakang yang membentur pelipis kaki meja, diakibatkan temanku yang iseng memindahkan bangkuku.
Sakit banget. Miris pula ingatnya.
Ya, mataku memang rabun. Sejujurnya, sebelumnya aku merasa bahagia dapat duduk di bangku depan. Akhirnya, aku bebas dari kacamata yang menjengkelkan ini.
Mulanya aku berpikir begitu.
Tapi, karena beberapa masalah, aku harus rela kembali ke bangku belakang. Seperti yang kuposting sebelumnya. Mantan pemilik bangku sebelumnya tidak ikhlas. Oke, aku tidak tahu apa yang terjadi Senin pagi itu. Yang kutahu, teman sebangkuku duduk di depan dan mengatakan padaku saat upacara kelar. Bahwa dia merasa bersalah pada pemilik bangku lama yang kami duduki dan memutuskan duduk di belakang lagi.
Jujur, saat itu aku ingin mengatakan TIDAK MAU KAMU YANG DAPAT BANGKU ITU DULUAN PAGI INI . Tapi, karena kulihat bagaimana dirinya selama ini, aku mengiyakan saja. Terserah, dia ingin di depan atau di belakang. Asal dia senang, aku tidak masalah. Aku sayang pada teman bangkuku itu. Walau dalam hati aku kecewa dengan keputusannya.
Hei, pemindahan bangku bagi kelas IPA 1 sudah jadi tradisi bukan bagi kalian? Kenapa masih dipermasalahkan.
Akhirnya, keeseokan harinya aku dan temanku kembali duduk di belakang, meski bukan lagi di pojok. Aku merasa bahagia duduk di sana. Duduk kembali dengan meja yang bagian milikku memiliki foto-foto anime yang kupasang agar tidak sepi.
Kami menghias meja kami sesuai keinginan kami. Aku menuliskan namanya dengan Bahasa Jepang, dan dia menuliskan namaku dalam Bahasa Korea. Meja kami sangat ramai. Semua baik-baik saja. Semua terasa menyenangkan. Aku juga senang, aku sangat nyaman duduk di posisi yang baru.
Meski besoknya, aku harus menelan rasa pahit luar biasa.
Aku tidak menyangka, kehidupan akhir SMA-ku akan menyedihkan karena kelakuan kelompok minoritas yang membawa kata SOLIDARITAS.
Jadi -berhubung aku tidak punya Line, BBM dan semacamnya- ada adu argumen di antara teman-teman. Dua -atau mungkin tiga- teman laki-lakiku yang juga teman sekelas lama teman bangkuku meminta teman bangkuku untuk kembali ke bangku depan. Kenapa harus takut pada pemilik bangku lama. Ya, banyak diantara kami yang agak takut padanya karena sifatnya. Aku juga termasuk, meski tidak kupermasalahkan.
Namaku dibawa-bawa. Dengan entengnya mereka menulis (kita berikan nama lain Hana pada teman bangkuku) "Hana datang duluan untuk cari bangku buat Kia."
Hei, sekalipun aku tidak pernah meminta Hana mencarikanku bangku. TIDAK PERNAH. Yang ada, aku yang mencarikan bangku untuk kami berdua. SUNGGUH AKU TIDAK BOHONG.
Lalu, yang dikatakan lagi: "Kasihan, matanya Kia minus, susah lihat ke depan. Masa kalian tidak kasihan?"
Garis bawahi, aku tidak pernah merasa terganggu duduk di belakang. Jangan bawa-bawa aku. Kalau mau melihat siapa mata minus, mantan pemilik bangku itu memiliki akomodasi mata yang jauh lebih buruk dariku.
Seluruh perdebatan membuahkan 3 orang yang kaum minoritas itu katakan sebagai anggota TIDAK SOLID. Namaku dan Hana bertebaran di mana-mana.
Kubela Hana, agar tidak terus didesak, "Lawan aku sebelum mendesak Hana." "Tidak usah, kami juga tidak mau mempermasalahkannya." Bahkan Hana sendiri yang mengatakan "kami sudah sepakat, semuanya lancar."
Tapi, kaum minoritas terus mendesak "Terlau baik, Hana!" "Manusia tidak boleh terlalu baik." "Jangan sok tegar." "Tugasmu harus kembali ke depan." "Kasihan Kia, Hana!"
Puncaknya, ketika Hana akhirnya menerima tawaran -tepatnya- desakan kaum minoritas untuk kembali ke depan.
Kau tahu Hana? Aku kecewa dengan dirimu yang dengan lembeknya mengiyakan. Aku menjauhimu, Hana. Aku tidak bicara padamu selama sisa pelajaran. Aku yang tadinya betah duduk diam di kelas, kini menjelajah sangat jauh. Kupukul dinding toilet dan berteriak dengan keras. Aku menangis. Merasa pembelaanku untukmu terasa sia-sia.
Kudiamkan dirimu, meski aku tidak menginginkannya. Daripada aku membentak teman yang paling kusayang, aku memilih bungkam.
Hari Kamis, kita berdua pindah ke depan. Kubanting kursi saat datang, aku bahkan tidak berbicara padamu seharian penuh. Kujauhi dirimu, kudiamkan eksistensimu, kuacuhkan panggilanmu, menghilang dari peradaban kelas XII IPA 1. Kubiarkan dirimu bergabung bersama "Grup" yang bahkan tidak pernah kau lakukan.
Kau tahu Hana, aku masih merasa kecewa.
Kuputuskan berdiam di masjid setelah Shalat Dhuha. Kubiarkan diriku jatuh terlelap tanpa membuka mukena. Kurutuki hari itu. Kupikir, aku bisa tenang, sampai salah satu kaum minoritas datang. Diinterogasinya diriku, namun aku tetap bungkam.
Heh, aku tidak akan buka mulut sebagaimanapun memohonnya dirimu. Seorang Capricorn senang menutup mulut, bukan? Kusuruh dia berhenti dan membentak marah. Ingin kukutip perkataan Akashi Seijuurou : "Perintahku absolut."
Aku pergi ke kelas.
Entahlah, aku tidak mau bicara apa-apa pada Hana.
Meski hari selanjutnya, aku melapangkan dada demi teman bangku yang kusayang. Ya, hanya Hana yang mau menerimaku apa adanya sebagai Otaku yang gila Jepang. Kuhadiahkan coklat padamu demi permintaan maafku.
Meski aku juga ingin mendengar permintaan maafmu padaku, yang membuatku sangat kecewa padamu dua hari terakhir.
Kita kembali bersama-sama. Meski fakta, aku tetap merasa ditinggal olehmu. Banyak yang mengatakan kau mulai bergabung dengan "Grup." Aku juga merasakannya Hana. Kau jadi menjauh, aku tidak bisa menggapaimu.
Aku merasa ditinggal.
Aku harus apa?
Kau teman bangku yang paling kusayang Hana, tapi kenapa kau mengecewakanku? Tidakkah kau mengerti? Aku rela membuang egoku demimu? Tapi, kenapa kau menjauhiku?
Bahkan, saat perayaan Maulid Sabtu lalu, kau meninggalkanku ke kelas lama sekali sampai acara berakhir.
Saat itu, aku membuat kesimpulan.
Lagi-lagi aku ditinggal. Aku tidak tahu, kau akan berkhianat dan meninggalkanku seperti yang 'mereka' lakukan padaku di masa lalu?
Untuk Hana, temanku tersayang. Kuharap, kamu tetap mau menjadi temanku.
Salam
Adnida Kia Rahid yang merasa frustasi ditinggal lagi